Banner Muba

Ditulis Oleh : Erikson Wijaya (Pegawai Kementerian Keuangan)

Dinding lorong itu berwarna putih kusam. Kala itu, pada satu dini hari di bulan April 2001. Ditemani beberapa keluarga, Saya menelusurinya sembari mendorong ranjang kematian Ibu yang akhirnya wafat setelah 40 hari dirawat di sana, di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ibu Sutowo, Baturaja. Di bawah temaram lampu yang menyala seadanya, saya sadar bahwa akhirnya Ibu sudah tidak ada. Pasca Ibu dimakamkan, Bapak masih sering bolak balik ke Rumah Sakit untuk menyelesaikan sangkutan biaya yang belum dilunasi. Kadang justru gantian pihak Rumah Sakit yang datang ke rumah kami untuk mengantarkan tagihan yang harus lekas dibayar. Pernah satu kali tagihan itu saya terima ketika Bapak sedang di kebun. Memori masa kanak-kanak saya mengingat dengan baik ketika petugas berseragam putih yang mengantarkan tagihan itu berharap sekali bertemu dengan Bapak. Mungkin beliau ingin menekankan agar tagihan tersebut lekas diselesaikan. Tapi naluri saya berkata bahwa itu akan sia-sia. Sebab kadang di satu titik dalam hidup kami, jangankan menjadi berada, cukup saja kami kadang tidak punya.

Kisah yang kami alami di atas, boleh jadi juga dilakoni oleh banyak masyarakat di berbagai wilayah Indonesia kala itu.Rentetan kejadian demi kejadian semacam ini membentuk urgensi yang begitu disadari pemerintah kala itu. Sebagai respon dan aksi nyata, di tengah berbagai keterbatasan yang ada, Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, meluncurkan program jaminan pelayanan kesehatan yang dibiayai penuh oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada akhir tahun 2004 dengan menugaskan PT. Askes Persero berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes/SK/XI/2004. Bentuk komitmen pemerintah ini juga didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengesahkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tonggak yang paling signfiikan dari berbagai upaya ini adalah ketika pada tahun 2014, Pemerintah membentuk BPJS Kesehatan dengan mengintegrasikan kepesertaan dari eks PT. Askes, eks Jamsostek, eks TNI, eks Polri dan eks Jamkesmas dalam satu badan penyelenggara untuk mencapai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Seiring waktu, ketika saya mulai memahami rumitnya upaya dan tantangan yang dihadapi pemerintah untuk mengangkat kualitas kesehatan masyarakat, di saat itu juga saya paham bahwa BPJS Kesehatan bukan panacea yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada. Dengan kualitas kontribusi yang belum optimal, BPJS berhadapan dengan risiko defisit yang harus dikawal oleh APBN supaya tidak menyebabkan turunnya kualitas layanan yang dapat diberikan kepada peserta. Kalkulasi per 31 Desember 2023 menunjukkan bahwa kemampuan BPJS Kesehatan dalam membiayai klaim fasilitas kesehatan hanya mampu mencukupi 4,36 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan. Risiko ini semakin tinggi ketika terungkap bahwa dari total 267 juta peserta atau 95,75 persen cakupan kepesertaan, masih ada sekitar 53 juta peserta yang tidak aktif. Sehingga ketika kondisi ini tidak ditangani, maka kemampuan BPJS Kesehatan membiayai klaim menjadi semakin pendek. Oleh sebab itu, di tengah semangat BPJS Kesehatan berbenah, diperlukan sebuah instrumen yang dapat dengan kuat menyangga kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyakarat.

Baca Juga:  Cara Mengatasi Duri Ikan Tersangkut di Tenggorokan

Salah satu Instrumen sebagaimana dimaksud adalah pajak. Reformasi perpajakan yang saat ini dilakukan Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak (Kemenkeu DJP) pada dasarnya adalah strategi untuk memperkuat kontribusi penerimaan pajak dalam menopang postur APBN. Anggaran sektor kesehatan untuk tahun 2024, direncanakan sebesar Rp 186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN. Anggaran sebagaimana dimaksud tersebut hanya dapat tercukupi jika DJP mampu mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan. Tentu ini menjadi tantangan yang tidak mudah di tengah perlambatan ekonomi akibat fluktuasi harga komoditas dan kondisi geopolitik global. Gencarnya upaya Kemenkeu DJP dalam mengajak serta Wajib Pajak berkontribusi dengan menaati ketentuan perpajakan sepatutnya dimaknai sebagai bagian dari kerja keras negeri untuk memastikan tersedianya uang yang cukup dalam menyelenggarakan layanan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas, sebab pajak pada dasarnya merupakan alat untuk melakukan redistribusi kemampuan ekonomis dari yang masyarakat berpunya kepada mereka yang berasal dari kelompok ekonomi rentan.

Begitu pula dengan wacana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Secara prinsip, wacana ini juga setara dengan investasi jangka panjang untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan produktif. Pajak menjadi modal untuk membentuk ekosistem kependudukan yang kuat melalui penyediaan layanan kesehatan yang optimal. Ini juga sejalan dengan semangat untuk menyongsong visiIndonesia Sehat yang merupakan salah satu sasaran transformasi sosial untuk Indonesia Emas 2045. Implementasinya, melalui dana yang dihimpun pajak, negara diharapkan mampu membangun fasilitas kesehatan yang memadai di berbagai pelosok wilayah negeri, serta program penopang lain seperti penguatan pengelolaan tenaga medis dan tenaga kesehatan dan jaminan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan untuk penurunan stunting.

Pada akhirnya kesadaran soal peran pajak dalam menopang kinerja layanan kesehatan adalah perkara kesadaran bahwa kita tidak punya pilihan lain selain gotong royong mengoptimalkan sumber pendanaan mandiri yang kita punya sebagai anak negeri, sebagaimana slogan BPJS Kesehatan yang kerap kita dengar: “Dengan gotong royong, semua tertolong”. Supaya kelak tidak ada lagi kisah pilu sebagaimana dahulu pernah saya alami dan juga mungkin ribuan orang lain di banyak sudut di negeri ini. Jayalah Indonesiaku! (*)

Baca Juga:  Takeda Raih Penghargaan PR Indonesia Award 2024 untuk Program Pencegahan DBD di Indonesia
Banner Muba
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *